BeliProduk Teknologi Strategi Jilid 2 Berkualitas Dengan Harga Murah dari Berbagai Pelapak di Indonesia. Tersedia Gratis Ongkir Pengiriman Sampai di Hari yang Sama.
Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi terkejut pula. Ternyata meskipun orang itu tidak dapat menguasai pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai keistimewaan pula. Mendengar desing golok yang terayun deras sekali, Mahesa Jenar barulah dapat mengukur kekuatan tenaga orang asing itu. Ketika golok itu sudah hampir menyinggung tubuhnya, segera Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta meloncat selangkah ke samping. Dengan demikian golok yang tak mengenai sasarannya itu terayun deras sekali, sehingga oran gyang memegangnya agak kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian Mahesa Jenar segera meloncat maju dan menangkap pergelangan tangan orang itu, langsung diputarnya ke belakang. Dengan sekali dorong, orang itu telah jatuh tertelungkup dan tidak dapat bergerak lagi, kecuali berdesis menahan siapa?,” tanya Mahesa Jenar geram. Tetapi orang itu tidak menjawab. Demikianlah sampai Mahesa Jenar mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi jengkel dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar tangan yang terpuntir itu semakin keras, sehingga orang itu mengaduh kau tak menjawab, tanganmu akan aku patahkan,” desak Mahesa Jenar. Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki tangan sehingga dengan terpaksa menjawab, Quote“Aku adalah Sagotra.” “Apa maksudmu mengintai kami? ” desak Mahesa Jenar lebih lanjut. Kembali orang itu diam saja. Mahesa Jenar menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras lagi, sehingga orang itu mengaduh lebih keras Atau tanganmu betul-betul patah.” Mahesa Jenar makin geram. “Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak lagi", jawabnya. Rupa-rupanya ia harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau perlu. “Keadaanku sudah pasti, berkata atau tidak berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu biarlah aku mati dengan menggenggam rahasia,” sambung orang itu. Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu, sampai berani menantang maut. Tetapi ia ingin untuk mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak baik. Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata, Quote“Baiklah, kalau kau tidak mau berkata. Aku hormati kejantananmu. Tetapi janganlah tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran kesetiaan. Kau pernah mendengar cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang Salaka…?” Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka, tengkuk orang itu serentak meremang. Jantungnya berdegup hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka adalah sejenis semut ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya. Binatang apapun yang sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya. Keluarga semut itu membuat sarang di bawah pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah 10 atau 15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak terpaut banyak dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak. Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai akibat pada orang itu. Dengan demikian ia melanjutkan, Quote“Kalau kau belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku perkenalkan dengan semut itu. Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu supaya kau tidak dapat lari darinya.” Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan orang itu. Tetapi segera pula menangkap lipatan lutut kaki kanan, sedangkan tangan Mahesa Jenar siap mematahkan pergelangan kaki kirinya, dijepitkan pada lipatan lutut kaki jangan…!” teriak orang itu tiba-tiba. “Bunuhlah aku dengan cara lain. Tetapi aku jangan kau siksa di sarang semut Salaka”. “Itu adalah urusanku. Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya membunuh kau,” jawab Mahesa Jenar. TAMPAKNYA Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka kembali orang itu berteriak, Quote“Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan cara lain.” Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. “Seorang yang telah berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas, seharusnya tidak takut menghadapi segala macam bahaya.” “Aku sama sekali tidak takut mati. Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri,” teriak orang itu. Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi keterangan yang diperlukan harus didapatnya. Maka katanya, Quote"Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih jalan kematian." Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya terjadi pergolakan hebat di dalam dirinya. Baru ketika Mahesa Jenar menekan pergelangan kakinya ia berteriak, Quote"Baiklah aku berkata asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang Salaka." "Baiklah…, berkatalah," jawab Mahesa Jenar. Lalu dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu langkah surut. Mengalami perlakuan yang demikian, orang itu ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu maksud lawannya yang dengan begitu saja telah melepaskan tangkapannya. Sehingga untuk beberapa saat ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar menegurnya, Quote"Duduklah dan berkatalah." Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang yang menamakan dirinya Sagotra. Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak berkedip. Rupanya ia sedang mencoba memahami sikapnya. Mula-mula Sagotra menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang bengis dan kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat di dalam tata pergaulannya. Tetapi kemudian seperti orang yang sama sekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan. Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap sedemikian lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di udara, lalu dibantingnya ke tanah. Barulah setelah setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau mungkinkah segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai berkata? Sebab menurut pertimbangannya, tidaklah mungkin orang yang melakukan pengintaian seperti apa yang dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya akan membahayakan. Mengingat hal itu, Sagotra menjadi ngeri. Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati "berkatalah, Aku hanya ingin keteranganmu, lebih daripada itu tidak.” Sagotra sama sekali tidak mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi meskipun demikian ketakutannya menjadi jauh berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya, pastilah Mahesa Jenar bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra menjadi malu kepada diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk melakukan tugas ini dapat luluh hatinya hanya oleh gertakan saja. Tetapi disamping itu ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai sifat-sifat yang tak pernah dijumpainya dalam tata pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya kembali, yang tidak pernah merasakan betapa indahnya hidup manusia yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta bulatnya bulan. Serta betapa tenteramnya hidup ini apabila ia berkesempatan mengagungkan alam. Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang Maha Agung. Hal yang demikian tidaklah pernah dialami selama Sagotra hidup di dalam sarang gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka yang tidak mentaati katanya kemudian, “Benarkah Tuan yang bernama Rangga Tohjaya?” Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. “Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan,” lanjutnya. Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan. “Sekarang aku sudah kau ketemukan,” kata Mahesa Jenar. “Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan tanpa menoleh dapat melihat kedatanganku.” “Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau temukan aku? Bahkan kau hanya mengintip lalu pergi?” Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, “Memang, aku hanya mendapat perintah untuk menemukan tempat Tuan. Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa untuk menangkap Tuan diperlukan 10 sampai 20 orang yang tergolong tingkat atasan dalam gerombolan kami.” “Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?” tanya Mahesa Jenar kemudian. Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama gerombolannya, mungkin sangat tidak menguntungkan baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang sama sekali tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit.Manajemen Strategis Jilid 2" 3 barang. Buku Manajemen Strategis Jilid 2 Edisi 12 Kasus Strategic Management Fred R David SALEMBA EMPAT. Rp133.425. 5 Terjual 2 Bandung. Balebat Shop. Original bekas mulus Manajemen Pemasaran suatu pendekatan strategis dengan orientasi global edisi kedua jilid 2 Boyd. Rp69.000. Jakarta Timur DENGAN hati-hati Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun Mahesa Jenar telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa. Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan bermain-main oleh para cantrik. Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah lenyap. Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain. Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu. Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan. Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga. Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang besar, adalah orang yang tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar. Orang itu tidak menjawab. Ia maju beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun demikian Mahesa Jenar masih belum yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat pukulannya. Maka katanya sekali lagi, Quote“Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.” Orang itu berhenti beberapa langkah di hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan. Kemudian jawabnya, “Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.” Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing. Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali. Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan ajinya Sasra Birawa. Sesaat sebelum tangannya menghantam lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra Birawa yang dahsyat. Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir meledak bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun yang diingatnya. Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan. Yang mula-mula terasa olehnya adalah tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya. Kemudian, ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk membangunkannya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring. Darahnya serasa menguap ketika ia mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali tidak mampu berbuat SANAK…” Terdengar orang itu berkata. “Jangan mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa. Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.” Mendengar ucapan-ucapan itu telinga Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya. Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “QuoteAku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.” Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki. Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah sebuah desis kemarahan. “Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu, “Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.” Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab, “Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti.” “Bagus…!” Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. “Kau sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.” Mahesa Jenar bukan seorang penakut. Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia masih hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa disengajanya ia berkata, Quote"Kau bunuh aku atau tidak, itu bukanlah urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?” Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa. “Jangan kau persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap aku mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?” “Cukup!” tiba-tiba Mahesa Jenar berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. “Kau mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual.” Sekali lagi terdengar suara tertawa. Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar. Katanya kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu, Quote“Aku tidak mau mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam membunuhmu. Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu tiba.” Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu besar jatuh tertimbun menutupi lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu, berguguran pulalah rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan main. Suatu penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang laki-laki ia lebih senang hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di dalam sebuah goa. Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak. Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu pulalah terasa kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang meluap-luap. Dengan demikian maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa saat kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk tegak. Matahari yang telah mencapai titik tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai. Udara yang lembab di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas matahari. Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah karenanya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan segenap tenaga yang ada ia pun berdiri dan dengan terhuyung-huyung berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri, disamping pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih hebat dari ilmunya. Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba sekarang ia bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu dengan sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan mempunyai seorang murid yang bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu ingin menyindir akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari perguruan Pengging.